Seringkali kita meletakkan Ilmu Pengetahuan vis-à-vis dengan agama. Apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan kita langsung mencari justifikasinya dalam kredo keagamaan. Yang sesuai dengan informasi dari literatur keagamaan kita langsung menempatkannya sebagai suatu kebenaran, sementara yang tidak sesuai kita menganggapnya sebagai penyimpangan.
Ilmu pengetahuan disepakati sebagai hasil kebudayaan manusia, dimana pola pikir manusia sangat mempengaruhi perkembangannya. Ilmu pengetahuan menghasilkan suatu kebenaran ilmiah sebagai bukan suatu rumusan yang final. Kebenaran ilmu pengetahuan yang diperoleh sekarang merupakan suatu pengembangan dari kebenaran ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Pun kebenaran pengetahuan yang diperoleh sekarang merupakan sebuah langkah untuk menemukan kebenaran di masa datang.
Semua pemeluk agama meyakini bahwa kebenaran yang mereka percayai adalah suatu kebenaran yang dianggap mutlak, kebenaran yang berasal dari Tuhan. Yang mengungkit keabsahan kebenarannya akan dianggap menyimpang. Pembelaan terhadap kebenaran yang sudah dianggap mapan ini lebih cenderung kepada sikap yang emosional, bukan sebagai sikap semangat untuk terus mencari kebenaran yang lebih mapan. Banyak ilmuwan yang merasakan akibat dari kredo keagamaan seperti ini. Sebagai contoh, Pada abad XVI ilmuwan Italia Galileo yang meyakini Teori Heliosentris harus berhadapan dengan pihak gereja yang lebih meyakini Teori Geosentris. Pada kurun waktu tertentu kalangan agamawan merisaukan pengajaran Teori Evolusi yang dicetuskan Charles Darwin, mereka menganggapnya tidak sesuai ajaran agama.
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan demikian dinamis, teori-teori lama banyak yang harus mengalami penyempurnaan dan revisi, atau kalau tidak menganggapnya batal. Adakalanya informasi yang diperoleh dari tafsiran literatur keagamaan mengalami suatu pembenaran, tetapi kadang penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan juga mendekonstruksi kebenaran lama yang berdasar pada suatu tafsiran literatur ‘keagamaan’ tertentu. Agama sendiri pun dapat menjadi suatu bentuk ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Agama, telah mengalami suatu proses sejarah yang mengikutkan pola pikir manusia yang terlibat dalam proses itu. Dalam perjalanannya sejarah seringkali merekonstruksi kebenaran agama.
Bukan pada tempatnya membandingkan kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran yang diperoleh dari informasi agama. Pemeluk agama meyakini kebenaran agama sebagai kebenaran yang bersifat kekal, sementara kebenaran ilmu pengetahuan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kemampuan pola pikir manusia. Toh, Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya bisa menjadi bagian dari penafsiran nilai-nilai agama.
Ilmu pengetahuan disepakati sebagai hasil kebudayaan manusia, dimana pola pikir manusia sangat mempengaruhi perkembangannya. Ilmu pengetahuan menghasilkan suatu kebenaran ilmiah sebagai bukan suatu rumusan yang final. Kebenaran ilmu pengetahuan yang diperoleh sekarang merupakan suatu pengembangan dari kebenaran ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Pun kebenaran pengetahuan yang diperoleh sekarang merupakan sebuah langkah untuk menemukan kebenaran di masa datang.
Semua pemeluk agama meyakini bahwa kebenaran yang mereka percayai adalah suatu kebenaran yang dianggap mutlak, kebenaran yang berasal dari Tuhan. Yang mengungkit keabsahan kebenarannya akan dianggap menyimpang. Pembelaan terhadap kebenaran yang sudah dianggap mapan ini lebih cenderung kepada sikap yang emosional, bukan sebagai sikap semangat untuk terus mencari kebenaran yang lebih mapan. Banyak ilmuwan yang merasakan akibat dari kredo keagamaan seperti ini. Sebagai contoh, Pada abad XVI ilmuwan Italia Galileo yang meyakini Teori Heliosentris harus berhadapan dengan pihak gereja yang lebih meyakini Teori Geosentris. Pada kurun waktu tertentu kalangan agamawan merisaukan pengajaran Teori Evolusi yang dicetuskan Charles Darwin, mereka menganggapnya tidak sesuai ajaran agama.
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan demikian dinamis, teori-teori lama banyak yang harus mengalami penyempurnaan dan revisi, atau kalau tidak menganggapnya batal. Adakalanya informasi yang diperoleh dari tafsiran literatur keagamaan mengalami suatu pembenaran, tetapi kadang penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan juga mendekonstruksi kebenaran lama yang berdasar pada suatu tafsiran literatur ‘keagamaan’ tertentu. Agama sendiri pun dapat menjadi suatu bentuk ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Agama, telah mengalami suatu proses sejarah yang mengikutkan pola pikir manusia yang terlibat dalam proses itu. Dalam perjalanannya sejarah seringkali merekonstruksi kebenaran agama.
Bukan pada tempatnya membandingkan kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran yang diperoleh dari informasi agama. Pemeluk agama meyakini kebenaran agama sebagai kebenaran yang bersifat kekal, sementara kebenaran ilmu pengetahuan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kemampuan pola pikir manusia. Toh, Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya bisa menjadi bagian dari penafsiran nilai-nilai agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar